Lebih Memohon Ridho-Nya, Bukan Hajat kita (Pada Doa Shalat Hajat)
Table of Contents
Doa memiliki peran penting dalam setiap langkah kita selaku
manusia beriman. Anda pasti memiliki doa-doa favorit yang menjadi ‘senjata
utama’ untuk dipanjatkan kepada Ilahi Robbi.
Saya pun demikian. Hingga beberapa waktu lalu saya ingin menemukan,
adakah doa khusus (dari Nabi, sahabat, atau ulama’) untuk shalat hajat? Ya,
bukannya tidak punya doa sendiri. Namun bagi saya, memakai doa ‘senjata’
orang-orang masyhur seperti lebih bermakna sesuatu, selain juga menjadikannya
media tawashul.
Mencari-cari, saya menemukan doa – yang menurut riwayat, itu
bersumber dari Nabi – berbunyi:
اللّهُمَّ لَا تَدَعْ لَنَا ذَنْبًا
إلَّا غَفَرْتَهُ وَلَاهَمًّا إلَّا فَرَّجْتَهُ وَلَاحَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إلَّا
قَضَيْتَهَا
Karena doa yang saya temukan ini berhubungan dengan shalat
hajat, maka saya tertarik pada redaksi hiya laka ridhan (هِيَ
لَكَ رِضًا) yang terletak
setelah hajatan (حَاجَةً).
Apa
yang menarik?
Bagi
saya, bacaan ini selain berisi permohonan terwujudnya hajat (حَاجَةً), juga berisi permohonan ridho (هِيَ
لَكَ رِضًا) dari Allah swt. Karena kita tak mengetahui, apakah terhadap
hajat kita itu Allah meridhoi atau tidak. Sehingga lafadz hiya laka
ridhan yang menjadi na’at/shifat dari hajatan mungkin saja menunjukkan tata krama/adab kita dalam memohon kepada Allah. "Hamba minta ini Gusti, tapi jika tidak Kau penuhi, dalem namung nderek, asal Engkau meridhoi".
Kemudian, doa ini menjadi kurang lebih memiliki makna sebagai berikut:
Barangkali, yang demikian ini menjadikan kita lebih mengedepankan ridha
Allah pada hajat kita. Kalaupun hajat kita tidak/belum terpenuhi, mungkin saja
Allah belum meridhai. Karena bisa jadi, ada jalan lain yang lebih baik (yang
dipilih Allah) bagi kita, yang berbeda dengan apa yang kita pilih.