Menghayati Hikmah dari Sifat Allah Yang Menyembuhkan (Asy-Syu'aro: 80)
Table of Contents
Nabi Ibrahim as pada surah asy-Syu’ara ayat 78-82 menjelaskan sekelumit dari sifat-sifat Allah swt secara mendalam. Berikut ini merupakan kutipan tafsir al-Mishbah dari sifat Allah Yang Menyembuhkan, surah asy-Syu’ara ayat 80.
~
﴿وَإِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ یَشۡفِینِ﴾ [الشعراء: ٨٠]
“Dan apabila aku sakit, maka hanya Dia yang menyembuhkan aku.”
Firman-Nya: (وإذا مرضت) wa idza maridhtu/dan apabila aku sakit, berbeda dengan redaksi lainnya (pada beberapa ayat sebelumnya). Perbedaan pertama adalah penggunaan kata idza/apabila dan mengandung makna besarnya kemungkinan atau bahkan kepastian terjadinya apa yang dibicarakan, dalam hal ini adalah sakit. Ini mengisyaratkan bahwa sakit - berat atau ringan, fisik atau mental - merupakan salah satu keniscayaan hidup manusia.
Perbedaan kedua adalah redaksinya yang mengatakan “Apabila aku sakit” bukan “Apabila Allah menjadikan aku sakit”. Namun demikian, dalam hal penyembuhan - seperti juga dalam pemberian hidayah, makan dan minum (pada beberapa ayat sebelumnya) - secara tegas beliau menyatakan bahwa Yang melakukannya adalah Dia, Tuhan semesta alam itu.
Dengan demikian, terlihat dengan jelas bahwa berbicara tentang nikmat secara tegas Nabi Ibrahim as menyatakan bahwa sumbernya adalah Allah swt, berbeda dengan ketika berbicara tentang penyakit. Ini karena penganugerahan nikmat adalah sesuatu yang terpuji, sehingga wajar disandarkan kepada Allah, (sedangkan) penyakit adalah sesuatu yang dapat dikatakan buruk sehingga tidak wajar dinyatakan bersumber dari Allah swt. Demikian Nabi Ibrahim as mengajarkan bahwa segala yang terpuji dan indah bersumber dari-Nya. Adapun yang tercela dan negatif, maka hendaklah terlebih dahulu dicari penyebabnya pada diri sendiri.
(Kesembuhan, antara Sebab dan Akibat, Sunnatullah dan Inayatullah)
Perlu dicatat juga bahwa penyembuhan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Ibrahim as ini, bukan berarti upaya manusia untuk meraih kesembuhan tidak diperlukan lagi. Sekian banyak hadits Nabi Muhammad saw yang memerintahkan untuk berobat. Ucapan Nabi Ibrahim as itu hanya bermaksud menyatakan bahwa sebab dari segala sebab adalah Allah swt.
Ketika menafsirkan ayat kelima surah al-Fatihah, penulis antara lain mengemukakan bahwa: Dalam kehidupan ini, ada yang dinamai hukum-hukum alam atau “sunnatullah”, yakni ketetapan-ketetapan Tuhan yang lazim berlaku dalam kehidupan nyata seperti hukum-hukum tersebut. Misalnya, seorang yang sakit lazimnya dapat sembuh apabila berobat dan mengikuti saran-saran dokter. Tetapi jangan duga bahwa dokter atau obat yang diminum itulah yang menyembuhkan penyakit itu. Tidak! Yang menyembuhkan adalah Allah swt.
Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali dokter telah “menyerah” dalam mengobati seorang pasien, bahkan telah memperkirakan batas kemampuannya bertahan hidup, namun dugaan sang dokter meleset, bahkan si pasien tak lama kemudian segar bugar. Apa arti itu semua? Apa yang terjadi di sana? Yang terjadi bukan sesuatu yang lazim. Ia tidak berkaitan dengan hukum sebab dan akibat yang selama ini kita ketahui. Itu adalah ‘inayatullah (pertolongan dan perlindungan Allah yang khusus).
(Sunnatullah dan Inayatullah)
Jika demikian dalam kehidupan kita, di samping ada yang dinamai sunnatullah, yakni ketetapan-ketetapan Ilahi yang lazim berlaku dalam kehidupan nyata seperti hukum sebab dan akibat, ada juga yang dinamai ‘inayatullah, yakni pertolongan dan bimbingan Allah di luar kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.
Bahkan lebih dari itu, dapat dipertanyakan tentang “sunnatullah” atau hukum-hukum alam seperti hukum sebab akibat yang disebutkan di atas “Siapakah yang mengaturnya?” “Siapa yang menjadikan atau mewujudkannya?” Kesembuhan si penderita apakah disebabkan oleh obat yang diminumnya atau petunjuk dokter yang ditaatinya? Keduanya tidak! Demikian jawab agamawan, antara lain berdasarkan ucapan Nabi Ibrahim as yang diabadikan oleh ayat yang ditafsirkan ini.
(Pada Hakikatnya, “Sebab” Bukanlah Yang Mewujudkan “Akibat”)
Ilmuwan pun menjawab demikian, karena menurut mereka, hukum-hukum alam tiada lain kecuali “ikhtisar dari pukul rata statistik”. Setiap saat kita melihat air mengalir menuju tempat yang rendah, matahari terbit dari sebelah timur, si sakit sembuh karena meminum obat tertentu dan sebagainya, hal tersebut lazim kita lihat dan ketahui, maka muncullah apa yang dinamai “hukum-hukum alam”. Tetapi jangan menduga bahwa “sebab” itulah yang mewujudkan akibat, karena para ilmuwan sendiri pun tidak tahu secara pasti faktor apa dari sekian banyak faktor yang mengantarkannya ke sana.
Hakikat “sebab” yang diketahui, hanyalah bahwa ia berbarengan dan atau terjadi sebelum terjadi akibatnya. Tidak ada suatu bukti yang dapat menunjukkan bahwa “sebab” itulah yang mewujudkan “akibat”. Sebaliknya sekian banyak keberatan ilmiah yang tidak mendapat jawaban tuntas atau memuaskan menghadang pendapat yang menyatakan bahwa apa yang kita namakan “sebab” itulah yang mewujudkan akibat.
Setelah ditemukannya bagian-bagian atom, elektron dan proton, sadarlah para ilmuwan masa kini, tentang ketidakpastian, dan lahirlah salah satu prinsip ilmiah, yaitu probability. Ilmuwan, kini mengakui bahwa apa yang sebelum ini diduga bahwa keadaan A pasti menghasilkan keadaan B, tidak lagi dapat dipertahankan. Kini mereka berkata keadaan A boleh jadi mengakibatkan B atau C atau D atau selain itu semua. Paling tinggi yang dapat dikatakan adalah bahwa keadaan B mengandung kemungkinan yang lebih besar daripada keadaan C, dan bahwa derajat kemungkinan yang lebih besar daripada keadaan C, dan bahwa derajat kemungkinan keadaan ini lehih besar dari keadaan itu. Adapun memastikannya maka hal tersebut di luar kemampuan siapapun. Ia kembali kepada ketentuan takdir, apapun hakikat atau siapapun takdir itu. Demikian tulis Sayyid Quthub mengutip pendapat ilmuwan Inggris Sir. James Jannes.
~
“Sakit” adalah wujud kelemahan manusia (sendiri). Adapun “menyembuhkan” pada hakikatnya adalah hak Allah swt. Meskipun demikian, manusia dituntut juga untuk berusaha, baik secara lahiriah ilmiah (me-laku-kan sunnatullah) maupun secara batiniah ubudiyah (memohon ‘inayatullah).
Menyadari bahwa, hakikat sebab dari segala akibat yang berupa kebaikan adalah Allah swt.
Wa Allah a’lam
Post a Comment