Menjadi Umat Yang Mengajak dan Yang Memerintah (Ali Imran: 104)
Table of Contents
Dibaca
normal tidak sampai 5 menit
Kehidupan
manusia semestinya tidak akan lepas dari kesalahan sedikitpun. Oleh karenanya,
satu dengan yang lain perlu saling mengingatkan. Bahwa orang yang dikaruniai
ilmu, selayaknya bisa mengajak kepada kebajikan. Dan yang dikaruniai kuasa,
selayaknya bisa memerintah kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.
Berikut kutipan
Tafsir Al-Mishbah surah Ali Imran ayat 104.
***
Berawal dari
kenyataan bahwa ...
Tidak
Semua Dapat Melaksanakan Fungsi ‘Mengajak’ (Dakwah) & ‘Memerintah’ (Amar)
Oleh Prof.
Dr. M. Quraish Shihab, dijelaskan bahwa umat yang disinggung dalam ayat ini
adalah orang-orang beriman yang perilakunya dapat dijadikan teladan serta
nasihatnya bisa didengarkan.
Apalagi di
zaman seperti ini, arus teknologi dan informasi berkembang sedemikian pesat,
sehingga di setiap media, dituntut adanya kelompok (orang-orang) yang dapat
diikuti dakwahnya oleh orang yang lain.
Perbedaan
Kelompok ‘Yang Mengajak’ dan ‘Yang Memerintah’
Sayyid
Quthub dalam tafsirnya mengemukakan bahwa, penggunaan dua kata yang berbeda (يدعون) dan (يأمرون) menunjukkan keharusan adanya dua kelompok
dalam masyarakat Islam.
Kelompok pertama
bertugas mengajak, dan kelompok kedua bertugas memerintah dan
melarang.
Hal ini
karena ajaran Ilahi di bumi ini bukan sekedar nasihat, petunjuk, dan
penjelasan. Akan tetapi, juga berupa melaksanakan kekuasaan memerintah dan
melarang, agar ma’ruf dapat terwujud, dan kemungkaran dapat sirna.
Lalu apa
perbedaan tugas-tugas mereka?
Khair
(Kebajikan), Ma’ruf (Yang Dinilai Baik), dan Mungkar (Yang Dinilai Buruk)
Telah diketahui
bahwa al-Qur’an dan sunnah itu mengamanahkan nilai-nilai pada dakwahnya. Nilai-nilai
tersebut ada yang bersifat mendasar, universal, dan abadi, dan ada juga
yang bersifat praktis, lokal, dan temporal.
Hal ini
menjadikan adanya suatu perbedaan antara satu tempat/waktu dengan tempat/waktu
yang lain. Perbedaan, perkembangan, dan perubahan nilai itu dapat diterima oleh
Islam selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal.
Al-Khair
menurut Rasul saw sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsir adalah Mengikuti
al-Qur’an dan Sunnahku (اتباع القرآن وسنتي).
Al-Ma’ruf
adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum satu masyarakat selama
sejalan dengan al-khair. Adapun
Al-Mungkar
adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan
dengan nilai-nilai Ilahi.
Dari pemaknaan
di atas, maka perlu ...
Digarisbawahi
Dua Hal
Pertama,
nilai-nilai Ilahi (al-khair) tidak boleh dipaksakan, tetapi disampaikan secara
persuasif dalam bentuk ajaran yang baik. Setelah mengajak, siapa yang beriman
silakan beriman, dan siapa yang kufur silakan pula, maising-masing
mempertanggungjawabkan pilihannya.
Kedua,
bahwa kesepakatan umum masyarakat yang baik (al-ma’ruf) sewajarnya
diperintahkan, demikian pula kesepakatan umum masyarakat yang buruk
(al-mungkar) seharusnya dicegah. Baik dengan kekuasaan, dengan ucapan, sampai
terendah yakni dalam hati/perasaan.
Dengan
Kesimpulan
Bahwa dengan
konsep al-ma’ruf, al-Qur’an membuka pintu yang cukup lebar untuk
menampung perubahan nilai-nilai akibat perkembangan positif di masyarakat.
Karena jika
disadari, ide/nilai yang dipaksakan atau tidak sejalan dengan
perkembangan budaya masyarakat, tidak akan bisa diterapkan.
Di samping
itu, al-Qur’an juga melarang pemaksaan nilai-nilainya walau merupakan
nilai yang amat mendasar, seperti keyakinan akan keesaan Allah swt.
Lebih lanjut,
filter al-khair harus benar-benar difungsikan, yakni membuka
perkembangan yang positif di masyarakat, bukan yang negatif.
***
(ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون)
(ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون)
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung."
(QS. Ali Imran: 104)
***
Wa Allah a’lam.
Post a Comment