Allah As-Salam, Yang Terhindar Dari Segala Aib dan Keburukan (6)
Berikut kutipan ringkas tentang nama Allah As-Salam oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab.
As-Salam sebagai sifat Allah hanya sekali disebut dalam Al-Qur’an, yaitu pada QS. Al-Hasyr ayat 23. Allah adalah As-Salam, karena Dia terhindar dari segala aib, kekurangan, dan kepunahan yang dialami oleh para makhluk.
Makna As-Salam
Al-Ghazali menjelaskan bahwa makna As-Salam adalah keterhindaran zat Allah dari segala aib, sifat-Nya dari segala kekurangan, dan perbuatan-Nya dari segala kejahatan dan keburukan.
Dengan demikian, seluruh keselamatan/keterhindaran dari keburukan dan aib yang kita peroleh di dunia ini hanya berasal dan bersumber dari-Nya, Yang Maha Sejahtera.
Dengan As-Salam, kita sepantasnya percaya bahwa segala yang dilakukan-Nya adalah baik dan terpuji, sehingga kita pun harus percaya bahwa tidak ada sedikit keburukan/kejahatan pun yang bersumber dari-Nya.
Karena pada hakikatnya, segala yang diciptakan Allah adalah baik. Keburukan, adalah akibat dari keterbatasan pandangan. Ia sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar kita lah yang mengiranya demikian.
Sehingga bisa dikatakan bahwa keburukan sebenarnya bersifat nisbi. Memenjarakan seorang penjahat adalah buruk dalam pandangan si penjahat, tetapi baik dalam pandangan masyarakat dan Allah. Hujan baik bagi petani, tetapi buruk bagi penatu yang ingin segera mengeringkan pakaian.
Demikian seterusnya, sehingga kita tidak sepantasnya memandang kebijaksanaan Allah secara mikro, meskipun kita juga tak mampu memandangnya secara makro, maka kita harus yakin bahwa di balik setiap yang kita duga keburukan, pasti ada hikmahnya, ada kebaikan yang lebih besar yang akan kita raih di baliknya.
Berakhlak dengan As-Salam
Kita yang hendak meneladani Allah dalam sifat As-Salam, dituntut untuk bisa menghindarkan hati kita dari segala aib dan kekurangan, dengki, dan hasud, serta dari kehendak berbuat kejahatan.
Di sisi lain, apabila kita tidak dapat memberi manfaat untuk sesama, maka paling tidak kita tidak sampai merugikan mereka. Dengan begitu, orang lain akan merasa aman dan selamat dari sikap dan perbuatan kita.
Lebih-lebih, kepada yang tidak berbuat baik pun, kita dianjurkan untuk tetap memberikan “salam” kepada mereka.
Imam Ghazali tentang As-Salam
Oleh Hujjatul Islam, kita dituntut untuk bisa menghindarkan hati kita dari segala aib dan kekurangan. Apabila kita mampu selamat dari hal itu, maka akan selamat pula hati kita dari al-intikas (kejungkirbalikan) dan al-in’ikas (ketolakbelakangan).
Denga demikian, kita akan datang menghadap Allah dengan hati yang salim/selamat.
Wa Allah a’lam.
Diringkas dan dikutip dari referensi:
Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif Al-Qur’an, karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab hlm. 42—47.
Post a Comment