Belajar untuk Ikhlas, Belajar Berproses dan Istiqomah
Ikhlas, Kemurnian Hati (Karena Allah)
Ikhlas, umumnya dimaknai sebagian besar dari kita dengan arti ridho atau rela.
“Sudah aku ikhlaskan,” atau “Aku ikhlas menerimanya,” bisa jadi contoh pemaknaan ikhlas mirip dengan maksud hati rela dan menerima.
Akan tetapi jika kita lihat dalam KBBI, ikhlas memiliki arti bersih hati atau tulus hati. Kedua makna ini serupa dengan makna ikhlas (dari akar kata bahasa Arab khalasha) yang berarti murni, jernih, atau bersih.
Oleh karenanya, pembahasan ikhlas dalam tulisan ini lebih berhubungan dengan kemurnian (maksud) hati dalam menyengaja suatu amal perbuatan.
Ikhlas bisa jadi merupakan sebuah ilmu dan tingkatan, yang sangat perlu diasah bagi kita selaku hamba Tuhan. Perbuatan yang ikhlas, diserupakan dengan berbuat sesuatu hanya karena mengharap ridho Allah swt.
Berbuat karena memang itulah yang diperintahkan Allah, dan meninggalkan sesuatu karena memang dilarang oleh-Nya.
Berbuat murni sesuai instruksi dari-Nya.
Belajar Ikhlas Layaknya Seorang Murid
Sebagai contoh, menuntut ilmu adalah salah satu perintah Allah swt yang sangat mulia dan banyak memiliki nilai guna. Oleh karenanya, banyak sekali maksud hati (niat) para pencari ilmu dalam berjalan menemukannya.
Ada yang niat mencari ilmu (sekolah/nyantri) untuk membekali diri mencari skil kerja, mencari ilmu karena disuruh orang tua, supaya bisa bertemu teman-teman sebaya, dan lain sebagainya.
Bahkan masyhur, Imam Ghozali (bersama saudaranya) pertama dimasukkan pondok/semacam yayasan pendidikan dahulu semata-mata supaya tercukupi kebutuhan hidupnya.
وأن لايمتنع من تعليم الطالب لعدم خلوص نيته، فإن حسن النية مرجو له ببركة العلم
Bahwa ketiadaan niat yang ikhlas bagi kita para murid, sepantasnya tidak menjadi hambatan kita dalam memulai suatu pembelajaran. Karena sesungguhnya niat yang baik itu dapat muncul lantaran barokah ilmu yang sedang kita usahakan.
Menjadi Ikhlas Perlu Proses dan Keistiqomahan
Banyak sekali cerita orang-orang shaleh terdahulu, bahwa untuk menjadi ikhlas diperlukan proses dan ketekunan terlebih dulu.
Seperti seorang pemuda yang mulanya menyukai puteri seorang alim/kiai. Pemuda tersebut diberi syarat oleh kiai tersebut untuk melanggengkan shalat jamaah 40 hari di masjid.
Baru berjalan 10 hari, pemuda tersebut telah merasakan ikhlas dalam shalatnya. Bahkan sampai selesai hari ke-40 pun, dia sempat menolak untuk dinikahkan oleh kiai tadi, lantaran sudah saking ikhlasnya ia shalat (hanya karena Ilahi Robbi).
Juga cerita mbah Maksum Lasem (ayah mbah Ali Maksum Krapyak), yang saling melempar candaan bersama teman kiai lain.
“Dzikiran (habis sholat) kok lama sekali, mesti niat pekewuh karena banyak santri,” celetuk teman mbah Maksum.
“Awalnya iya, memang karena santri, tapi lama-lama lupa sendiri,” Jawab mbah Maksum.
Termasuk cerita bahwa Imam Ghazali kecil dipondokkan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan hidup keseharian, tetapi lantaran barokah ilmu, beliau diantarkan pada tingkatan ikhlas (murni) mencari ilmu hanya karena Tuhan.
قال بعض السلف: طَلَبْنَا الْعِلْمَ لِغَيْرِ اللهِ فَأَبَى أَنْ يَكُوْنَ إِلَّا لِلهِ
“(Awalnya) kami mencari ilmu karena selain Allah, kemudian ilmu tidak mau kecuali hanya karena Allah.”
*
Hemat penulis, bisa jadi ikhlas dalam beramal dan beribadah merupakan suatu puncak dari keistiqomahan dan ketekunan kita dalam belajar. Baik belajar dalam makna sempit (di bangku sekolah, pesantren, kuliah), maupun belajar dalam makna yang luas (belajar kehidupan).
Karena hidup yang sepantasnya adalah yang sejalan dengan instruksi Tuhan, maka seyogyanya kapan dan di mana saja kita perlu belajar untuk melakukan segala sesuatu hanya karena-Nya.
Belajar ikhlas, seraya memohon bimbingan kepada guru dan orang-orang yang kepada-Nya lebih dekat.
Wa Allah a’lam.
Referensi:
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah (Ensiklopedia Fikih) juz 29 Karya Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait hlm.86 via Google Books
وآداب المعلم مع طلبته هي أن يقصد بتعليمهم وتهذيبهم وجه الله تعالى، ونشر العلم، وإحياء الشرع
وأن لايمتنع من تعليم الطالب لعدم خلوص نيته، فإن حسن النية مرجو له ببركة العلم
قال بعض السلف: طَلَبْنَا الْعِلْمَ لِغَيْرِ اللهِ فَأَبَى أَنْ يَكُوْنَ إِلَّا لِلهِ
ولأن إخلاص النية لو شرط في تعليم المبتدئين فيه مع عسره على كثير منهم لأدى ذلك إلى تفويت العلم على كثير من الناس، لكن الشيخ يحضر المبتدئ على حسن النية بالتدريج
Terinspirasi dari ceramah Gus Baha': Ibadah, Kalau Baru Pertama, Tidak Perlu Ikhlas Dulu
Post a Comment