Nama Allah Al-Muiz Yang Maha Memuliakan, Al-Mudzil Yang Maha Menghinakan (25 & 26)
Makna Al-Mu'iz dan Al-Mudzil
Al-Mu’iz adalah Yang Menganugerahkan. Lawannya adalah Al-Mudzil, Yang Menimpakan Kehinaan.
Di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kedua kata ini sebagai sifat Allah, tetapi kata kerja yang menunjuk kepada Allah yang menganugerahkan kemuliaan dan menimpakan kehinaan, ditemukan antara lain pada firman-Nya dalam QS. Ali Imran ayat 26:
“Engkau memuliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan merendahkan siapa yang Engkau kehendaki.”
Berakhlak dengan Al-Mu'iz dan Al-Mudzil
Kemuliaan adalah milik Allah. Karena itulah, Allah juga menganugerahkannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dalam konteks ini, Allah menegaskan bahwa kemuliaan itu dianugerahkan kepada Rasul dan orang-orang mukmin.
Jika demikian, kemuliaan manusia tidak terletak pada kekayaan atau kedudukan sosialnya, tetapi pada nilai hubungan baiknya dengan Allah swt.
Barang siapa menghendaki kemuliaan, maka hendaklah dia menghubungkan diri dengan Tuhan. Jika kita mampu menghubungkan diri dengan Tuhan, maka kita seperti telah dianugerahi kemuliaan yang sejati, kemuliaan yang langgeng.
Adapun kemuliaan yang tidak langgeng, diperoleh karena kita mengandalkan sebab-sebab serta melupakan pemilik dan penyebab kemuliaan (Allah). Sedangkan yang langgeng, diperoleh karena kita mengingat dan mengandalkan penyebab, tanpa melupakan sebab.
Imam Ghozali tentang Al-Mu'iz dan Al-Mudzil
Imam Ghozali menjelaskan bahwa Al-Muiz adalah yang menganugerahkan kekuasaan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan mencabutnya dari siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Oleh karenanya, apabila telah tersingkap tabir dari kalbu kita, sehingga kita dapat memandang keindahan Ilahi, serta dianugerahi qana’ah (kepuasan setelah usaha halal yang maksimal), yang menjadikan kita tidak butuh kepada makhluk, dan dapat menguasai hawa nafsu kita, maka kita telah dianugerahi Allah kemuliaan, bahkan kekuasaan duniawi, dan kelak akan dianugerahi pula kekuasaan ukhrawi.
Sebaliknya, jika kita mengulurkan pandangan kita kepada makhluk, sehingga kita merasa butuh kepada mereka, serta jiwa kita diliputi oleh ambisi ketamakan, sehingga tidak puas dengan apa yang kita peroleh setelah usaha maksimal, maka kita telah menyandang pakaian kehinaan.
Demikian lebih kurang uraian Imam Ghozali.
Alhasil, salah satu yang paling pokok, yang berkaitan dengan kemuliaan adalah kepuasan setelah berusaha halal yang maksimal.
Sebaliknya, kehinaan berpangkal pada ketidakpuasan, yang mengantarkan seseorang pada ketamakan dan upaya mengandalkan manusia dengan melupakan Tuhan.
Wa Allah a’lam.
Diringkas dan dikutip dari referensi:
Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif Al-Qur’an, karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab hlm. 132-135
Post a Comment