Tawakal Atas Segala Yang Di Luar Kendali Kita, Ikhtiar Pada Apa Yang Dalam Kendali Kita
Beberapa hari terakhir, saya tertarik dengan buku yang berjudul Filosofi Teras. Di dalam buku filsafat Stoikisme ini ada satu hal yang membuat saya terkesan, yakni tentang konsep Dikotomi Kendali.
Ringkasnya, jika kita menginginkan kebahagiaan dalam hidup, maka kita perlu menyadari bahwa di dunia ini ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan ada hal lain yang tidak bisa kita kendalikan. Oleh karenanya disebut dikotomi (dua bagian) kendali (pengendalian).
Yang bisa kita kendalikan meliputi pemikiran kita, penilaian, persepi, respon, perkataan, dan perilaku kita.
Kalau yang di luar kendali? Jelas banyak sekali. Mulai dari orang lain (sikapnya, penilaian dan perlakuannya kepada kita), kondisi alam (cuaca, lalu lintas, peristiwa sehari-hari), bahkan yang dekat dengan kita sendiri (kesehatan, kekayaan, keluarga, karir), dan sebagainya.
Fokus Yang Ada Dalam Kendali, Abaikan Yang Di Luar Kendali
Kunci ajaran Stoikisme ini adalah bagaimana kita mampu memfokuskan diri pada hal-hal yang ada dalam kendali, serta 'mengabaikan' hal lain yang berada di luar kendali.
Contoh sederhana, sebagai pelajar, kita berkewajiban mengerjakan ujian. Yang bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita belajar, memahami penjelasan guru dan materi, lalu mengerjakan ujian semampunya. Urusan nilai kita berapa, peringkat kita seperti apa, itu semua di luar kendali kita. Sebaiknya kita tak terlalu pusing memikirkannya, jika kita ingin tenang dan bahagia.
Saya sempat ragu jika kesehatan, kekayaan, dan keluarga tidak dalam kendali kita. Namun jika melihat pengalaman yang ada, kita sudah makan makanan sehat, tidur cukup, tapi masih saja meriyang dan jatuh sakit. Ada orang punya rumah mewah tetapi terkena musibah, kekayaannya hilang tak tersisa. Semua keluarga ingin selalu hidup rukun, tapi ada saja perselihan dan pertengkaran di dalamnya.
Karena yang bisa kendalikan adalah menjaga kesehatan, bekerja sesuai porsinya, dan melayani keluarga sepantasnya. Urusan di luar itu yang jelas bukan dalam kendali kita. Demikian ajaran Filosofi Teras/Stoikisme/Stoa.
Dikotomi Kendali, Kaitannya Dengan Ajaran Islami
Zaman kini serba AI. Saya pun iseng bertanya pada ChatGPT, apa kaitannya dikotomi kendali dengan ajaran Islami. Jawabannya seperti yang sering kita ketahui, yakni tentang konsep ikhtiar dan tawakal pada Ilahi.
Yang umum kita ketahui, ikhtiar adalah usaha, sedangkan tawakal adalah berserah diri pada Ilahi. Saya pun membayangkan betapa bahagianya kita jika paham konsep dikotomi kendali lalu menjiwainya melalui ajaran Islami.
Beberapa contoh penerapan ikhtiar dan tawakal dalam kehidupan sehari-hari:
Diriwayatkan masyhur, seperti dalam Kitab Fathul Bari, ada seorang lelaki yang turun dari untanya bertemu Nabi Muhammad SAW lalu bertanya,
"Aku ikat untaku, atau aku lepaskan saja?"
"Ikatlah untamu, lalu bertawakallah kepada Allah."
قال الذي سأله أعقل ناقتي أو أدعها؟ قال أعقلها وتوكل
Seperti yang kita ketahui, bahwa Nabi memerintahkan kita untuk bertawakal kepada Allah, yakni memasrahkan semua urusan kita kepada-Nya. Akan tetapi, kita tetap perlu membarenginya dengan ikhtiar.
Dalam konteks cerita di atas, lelaki itu punya kendali untuk membiarkan untanya atau mengikatnya saat dia tidak menungganginya. Namun secara logika, supaya lebih aman, maka dia perlu mengikat untanya.
Di luar kendalinya, apakah untanya tetap aman atau tidak, maka tak perlu merisaukannya. Sebab ia telah bertawakal kepada Allah swt.
Setiap usia dan masa punya tantangannya masing-masing. Melewatinya sudah menjadi ketetapan Ilahi. Namun menikmatinya-lah yang perlu kita ikhtiari, sembari bertawakal atas hasil -bahkan proses itu sendiri.
*
Alhasil, ada banyak sekali sisi kehidupan yang berada di luar kendali kita, maka sepantasnya kita bertawakal kepada Allah, memasrahkan semua urusan kita pada-Nya.
Dan sebagai muslim yang baik, kita perlu berusaha, berikhtiar sesuai kapasitas kita.
Atas kelebihan ilmu yang kita miliki, kita lalu berpikir baik, bertutur kata sopan, berperilaku santun.
Atas banyak kekurangan yang ada, kita mau menerima kondisinya, membetulkan mana yang salah, memperbaiki mana yang buruk, mengindahkan mana yang tak elok.
Jika kita ridha, semoga Allah swt pun ridha. Fokus kita untuk Dia.
Wa Allah a'lam,
Post a Comment